Daripada Rumit, Mending Hybrid

Willy Pujo Hidayat
labmartlife
Published in
3 min readOct 23, 2023

--

Salah seorang dari tim customer success kami datang menghampiriku, aku tidak menyukai raut wajahnya saat itu.

“Pak, ada waktu ngobrol”

Sesuatu yang siapapun mungkin tidak akan menyukainya, sebuah permulaan dari perpisahan yang mungkin saja tidak bisa dielakkan.

“Boleh, yuk”

Kata ku mengiyakan ajakannya.

Sambil berjalan ke ruang meeting, aku teringat akan dosaku yang dulu.

Sebuah situasi yang aku ciptakan beberapa tahun lalu ke managerku.

Aku ingat kala itu wajahnya tertunduk dan mencoba mendebatku dengan opsi opsi yang mungkin bisa membalikkan keadaan.

Nihil, tekadku sudah bulat saat itu.

“Jadi gini pak..”

Katanya memulai percakapan di ruang meeting yang hampa dan mulai diselubungi oleh kabut kecemasan tersebut.

Seolah aku tahu apa kalimat selanjutnya yang akan dikatakan, aku juga menundukkan pandanganku, berharap hal ini tidak terjadi.

Ya, bisa ditebak dan nyaris seratus persen sesuai prediksi.

Dia bermaksud meninggalkan kami untuk membersamai suaminya yang ditugaskan di tempat lain.

Sebagai seorang pria aku mungkin aku bisa berempati kepada suaminya yang tidak akan tega berpisah dengan separuh dari hidupnya, namun sebagai seorang “kepala suku” hal ini mutlak adalah sebuah penolakan.

Tidak mau sendirian, aku bermaksud untuk juga menyebarkan kecemasan ini ke atasanku.

“Aku diskusi dulu ya”

Kataku mencoba menenangkan diri.

Ke Atas

“Pak, ada waktu ngobrol”

Kata yang sama yang aku sadur untuk juga menciptakan tensi yang sama.

“Ok, ke ruang meeting ya”

Tidak berharap secepat itu direspon, aku ambil nafas dalam dalam dan mencoba menghadapi percakapan yang akan dilangsungkan dalam beberapa detik kedepan ini.

Ruang meeting masih diselubungi oleh kabut yang kecemasan yang sama, sampai akhirnya mulut ini terbuka dan mengutarakan apa yang ada di kepala ini.

“Oh, remote saja, kan kalian bisa”

Sontak aku terkejut atas restu yang secara tidak langsung diberikan kepada kami ini.

Memang secara infrastruktur kami sudah semi digital, namun kami hanya khawatir diskusi yang akan terganggu frekuensinya.

“Mungkin kalian akan mengalami hiccup di awal, tapi setelah itu saya rasa bisa menyesuaikan”

Katanya menambahkan.

Aku mengamini hal yang juga kami yang lain khawatirkan.

“Dicoba saja”

Kata beliau menutup obrolan yang seolah meredakan mendung di hati ini.

Hybrid

“Bisa ngobrol?”

Giliranku membuka obrolan dengan tim.

Tanpa ragu aku coba tawarkan opsi ini, dan bersambut baik darinya.

Raut wajah sendu itu kini sirna, berganti dengan kekhawatiran.

“Nanti kalau begini-begitu, gimana ya pak?”

Kekhawatiran itu ini berbalik menunjuk ke arahku.

“Aku coba desain flow-nya ya”

Kataku mencoba menenangkan semua pihak yang juga mengalami kekhawatiran yang sama.

Sampai satu hari aku datang dengan serangkaian email panjang berupa prosedur bekerja secara Hybrid.

Semua mengamini termasuk atasan kami yang keren ini.

Ya, sebagai startup yang mengekor perusahaan B2B yang sudah berusia belasan tahun, mendobrak dogma lama itu tentu tidak mudah.

Dan saat ini, kami memiliki tim yang bekerja secara remote dari luar kota.

Sedang tim lain menjadikan remote working sebagai opsi sekiranya ada satu dan lain hal yang membuat mereka tidak bisa ke kantor.

Solusi itu ada, bernama Hybrid Working.

--

--

Willy Pujo Hidayat
labmartlife

Certified Digital Marketing | Writing & Podcast | eCommerce Enthusiast | Rebahanism