#34 Mending Keluar dari Marketplace, Sekarang!

Willy Pujo Hidayat
11 min readJun 18, 2024

--

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat datang kembali di Commercesation, sebuah podcast tentang ecommerce bersama saya Willy Pujo Hidayat.

Episode ke 34, terima kasih untuk teman teman yang masih setia mendengarkan podcast ini, sampai episode ke 34 ini.

Bagaimana kabarnya teman teman?

Selamat hari raya Idul Adhaaa.. semoga untuk teman teman yang berkurban, semoga diterima kurbannya ya.

Belakangan tenggorokan saya suka gampang sakit, dan kalo kita cek, AQI atau Air Quality Index di Jakarta ini luar biasa ya.

Parah banget, bisa sampai 120–110, kategorinya sangat buruk.

Jadi untuk teman teman yang di jakarta, jangan lupa untuk tetap memakai masker.

Sebenernya yang dibutuhkan itu bukan masker, tapi respirator.

Emang beda ya?

Beda banget, jadi kalo masker itu, untuk menghindari apa yang di dalam diri kita keluar dari tubuh, misal temen temen lagi flu, nah pake masker itu biar flu-nya ga ke mana mana.

Kalo respirator itu, untuk menhindari apa yang dari luar masuk ke dalam tubuh, nah misalnya polusi ini, supaya ga terhirup.

Makanya masker itu ga rapet rapet amat, karena emang udah segitu aja batasannya, kalau respirator itu rapet banget, bahkan sampai ga ada celah, karena ya itu tadi, untuk menghindari benda asing masuk ke pernapasan.

Respirator tuh contohnya N95, itu terkenal banget deh produk dari 3M.

Temen temen bisa cari respirator untuk mencoba menghindari polusi ya.

Episode ke 34, dan kali ini saya agak sungguh sungguh ya, khusus di episode ini.

Yaitu tentang ajakan untuk segera keluar dari online marketplace.

Kenapa begitu?

Sebelum kita bahas, seperti biasa, kita update dulu 3 berita seputar eCommerce :

TEMU Rumored to enter Indonesia in H2 2024 —

Berita ini saya dapat dari guru saya, Mas Wientor Rah Mada, direktur SMESCO di bawah pengelolaan kementerian UMKM.

Saya pernah bahas ini panjang lebar masalah TEMU ini, di episode ke 20, temen temen bisa scroll ke bawah di Spotify atai YouTube Music, scroll aja, nanti cari episode ke 20.

Itu saya membahas tentang Shopatainment di mana shopping itu bukan lagi cuma fulfilling needs, tapi juga entertainment.

Nah, kalo TEMU ini sampai masuk ke Indonesia, wassalam ini UMKM, mending jadi PNS aja semua 😀.

Siingkat ya, TEMU ini aplikasi belanja di bawah manajemen PDD / PINDUODUO holding di China, dia itu B2C, dan harganya luar biasa murah, kurang lebih di $1.

Bersaing dengan Aliexpress, tapi kalo Aliexpress dia lama datengnya, TEMU ini lebih cepat, dikirim dari China langsung karena holding company-nya PDD ini udah biasa ngirim ratusan juta paket sehari.

Plus ada garansi retur kalo barang ga cocok, gila ga?

Mau jadi apa ini UMKM? Bubar aja sekalian kalo sampe regulasi memungkinkan ini TEMU masuk ke Indonesia.

Tapi saya percaya, Mas Wientor dari SMESCO ini dengan cicrle-nya ga mungkin tinggal diam sih, maju terus UMKM Indonesia.

Berita kedua datang dari Performance Q1 BLIBLI —

Saya sampe lupa infoin berita penting ini ya.

Padahal saya udah baca sejak terbit di awal Mei, harusnya di episode sebelumnya saya bahasnya.

Ada hal menarik dari performance blibli Q1 tahun ini, yaitu Net Revenue-nya naik tipis 2%, tapi Gross Profitnya naik sampai 29%, mantaapp.

Kalau eCommercenya saja, itu malah slow down yg yg frist party, yang B2C, itu Net revenuenya menurun, tapi yang lainnya meningkat, termasuk 3rd party yang dari TIKET ya, karena mudik, dan tentunya offline store dari RANCH Market.

Berita ketiga — GOTO melakukan layoff —

ke (ini sumbernya banyak banget, beragam) ada yang bilang 400 karyawan, ada yang bilang sampai 70% atau sekitar 2000-an orang.

Ini, gimana ya, saya seperti sudah menduga hal ini bisa terjadi, jadi setelah 75% diakusisi sama TikTok, pasti ada yang namanya adjustmen atau penyesuaian.

TikTok sudah pasti mau Tokopedia itu untung, dan meletakkan beberapa orang pentingnya di Tokopedia.

Tapi ya, semoga yang terkena Layoff segera mendapatkan pekerjaan yang lebih baik ya.

Tetap semangat.

Ok, itu tadi 3 berita update seputar eCommerce, sekarang kita balik ke topik utama podcast ini.

Tadi di awal saya bilang saya mau serius di episode ini.

Agak sentimen memang, tapi hari ini saya ajak teman teman semua untuk keluar dari Marketplace.

Saya akan breakdown beberapa alasan kenapa hal ini saya sampaikan di episode ini.

Secara garis besar, ada 3 poin utama :

  1. Pertama update fitur & layanan.
  2. eCommerce enabler sudah banyak banget opsinya.
  3. Market yang perlahan lahan sudah homogen.

Ok, kita mulai dari fitur dan layanan dulu.

Fitur Baru Marketplace

Jadi, beberapa waktu lalu saya sempat melihat ada update fitur yang sepertinya kurang menguntungkan di salah satu pihak, yaitu para penjual di eCommerce.

Fitur ini ada di salah satu platform marketplace dan cukup ramai dibahas di banyak komunitas seperti di Twitter atau X, dan Media Konsumen.

Fitur yang buat heboh yaitu fitur Cancel “sepihak” oleh pihak pembeli, tanpa perlu persetujuan seller pada tahap tertentu.

Saya coba cek ke Seller Center salah satu Marketplace yang saya maksud, keterangannya begini : — “Saat ini pembeli dapat membatalkan pesanan mereka kapan saja selama pesanan masih dalam status ‘pembeli melakukan pesanan s/d RTS (Ready to Ship).”

Jadi di dashboard sellert itu ada beberapa tahapan pemrosesan barang, yaitu :

  • Pesanan masuk
  • Pesanan dikemas
  • Pesanan siap dikirim (RTS)
  • Pesanan dalam pengiriman

Nah di fase 1–3 tadi, dari mulai pesanan masuk, pesanan dikemas, dan siap untuk dikirim, itu si user bisa cancel tanpa persetujuan dari Seller.

Di Media Konsumen, si penulis ini komplain karena mungkin memang pesanannya belum di-scan oleh cabang ekspedisi, namun mungkin sudah terbawa oleh kurir yang menjemput.

Belum lagi kalau ada case pesanannya ini custom dan packingannya tidak sembarangan, yang mungkin butuh cost yang tidak sedikit untuk memastikan produknya terkirim ke customer.

Tentunya ini merugikan menurut seller, karena user atau buyer bisa tiba tiba melakukan cancel pesanan, diantara 3 fase tadi.

Tidak cukup sampai di situ, ternyata marketplace lain dalam waktu yang bedekatan juga melakukan hal yang sama, yaitu Fitur Pengembalian akibat berubah pikiran.

Really? Berubah Pikiran?

Ada akun yang sudah merasa dirugikan dengan fitur ini, jadi dia sudah mengirim barang yang sepertinya custom dan terlihat cukup rumit dan unik, kemudian setelah barang diterima, buyer mengajukan pengembalian dengan alasan :

Berubah Pikiran

https://x.com/Byaawww/status/1798334635514253621

Bagi beberapa orang, tentunya ini bisa menjadi celah untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang tidak baik.

Ditambah lagi, di kasus ini, si buyer tidak melakukan video unboxing, sehingga sulit bagi penjual untuk mengetahui kondisi barang saat diterima.

Kalau saya coba runutkan, si penjual ini udah coba mengajukan banding, tapi kalah, dan akhirnya buyer yang menang dan barangnya bisa diretur.

Ini tentunya cukup merugikan pihak seller yang mungkin sudah effort waktu dan sumberdaya untuk packing, seperti bubble wrap, kardus atau bahkan packingan yang sifatnya custom.

Kalau saya coba duduk di sisi pemilik platform ya, sebenernya skema pembatalan sebelum barang dikirim, itu mengurangi resiko barang ditolak saat COD.

Jadi COD atau Cash on Delivery ini kan umumnya alurnya itu, barang sampai dulu, dibayar baru diterima oleh pembeli, kadang, malah sering kayanya kurir itu retur paket karena pembeli ga mau bayar, atau bahkan ga merasa memesan 😀

Malah ada anekdot yang bilang kalau COD itu Cash or Duel 😀, saking seringnya berantem sama pembeli yang biasanya emak emak yang mungkin lupa kalau beli produknya di marketplace.

Begitupun juga skema pengembalian barang dan dana karena alasan “Berubah Pikiran” yang ada di marketplace lainnya.

Sebetulnya, alasan atau opsi yang tertera untuk pengembalian barang itu sudah cukup representatif kayanya, seperti :

  • Produk salah
  • Produk cacat
  • Produk tidak original
  • dsb

Alasan alasan itu logis dan masuk akal, tapi kenapa dimunculkan opsi “Berubah Pikiran” yang terkesan subjektif, tidak objektif.

Seperti yang saya bilang di awal, itu bisa jadi celah untuk berbuat kecurangan misalnya, seperti barang ditukar, kemudian barang rusak saat dikembalikan, dsb.

Alasan kenapa itu ada ya, tentunya karena kemudahan pengguna atau buyer ya.

Sepertinya kedua marketplace tersebut sedang merebut hati para penggunanya untuk me-maintain retensi pengguna atau buyernya.

Karena sejak TikTok Shop masuk ke Indonesia via akuisisi Tokopedia, tentu semua aplikasi sejenis khawatir, karena ini dua app yang super power banget: Sosial Media dan eCommerce.

Hampir ga ada yang bisa ngalahin.

Tapi ya, lagi, sebagai pengguna dari sisi seller juga ga bisa berbuat banyak, karena emang dasarnya kita bergantung ke pemilik platform.

Saya bahas panjang lebar di episode “Lu Punya Platform, Lu Punya Kuasa” di episode ke 24, cari aja di Spotify ini atau di YouTube music episode ke 24 Commercesation.

Karena kita dependen ke pemilik platform, akhirnya ya, mau apapun regulasi yang mereka buat, kita harus ikutin aja, karena nyaris ga ada opsi: take it or leave it.

Ini salah satu dari beberapa alasan kenapa saya dorong temen temen untuk pelan pelan keluar dari marketplace.

Dan sebetulnya, di luar marketplace itu, sarana untuk teman teman membuat toko online sendiri itu udah banyak banget.

eCommerce Enabler

eCommerce enabler itu udah banyak banget opsinya.

eCommerce enabler itu tuh jadi aplikasi (yang tentunya cloud-based) yang bisa membantu kita membuat toko online.

Namanya eCommerce enabler, artinya kurang lebih aplikasi untuk mengaktifasi toko online Anda.

Maksudnya jadi, temen temen bisa dengan mudah berjualan di internet dengan membuat website ecommerce dengan segala fiturnya dengan mudah.

Simple banget lagi, tinggal registrasi, tentuin nama tokonya, upload produknya, jadi deh.

Tahapan-tahapannya juga sama aja kok, Payment Received — On Process — Delivery — Complete, sama aja kan sama Marketplace.

“Iya wil bener, tapi mereka ga percaya kalo ga lewat marketplace, takut disangka nipu”

Nah ini menarik.

Ini kalau pengamatan saya ya, dengan mulai dikuranginya diskon dan promo promo oleh banyak marketplace, plus ada biaya biaya tambahan kaya biaya aplikasi dan pemrosesan, sebetulnya ini dengan sendirinya membuat market ini semakin dewasa atau semakin mature.

Market semakin punya interest terhadap produk yang memang punya value.

Beberapa brand juga mulai mengembangkan strategi D2C yang artinya mereka pelan pelan bergeser dari marketplace ke official website mereka sendiri dengan beragam promonya.

Akhirnya pelan-pelan user itu mulai berani dan terbiasa untuk checkout di website masing masing brand tanpa harus melalui marketplace.

Ibaratnya mereka ga perlu dateng ke pasar atau ke mall untuk cari produk kita, cukup ke toko kita sendiri di pinggir jalan, langsung beli di situ.

Nah, masalah dia percaya atau enggak nantinya kalo beli di website tanpa marketplace, itu ada banyak hal yang bisa dibahas.

untuk meningkatkan kepercayaan ya, misal :

  • Domain website — Ga mungkin kan saya, atau temen temen mau checkout di domain website yang ada blogspot-nya atau wordpress-nya, atau wixsite-nya?

Nah ini jadi faktor satu.

  • Desain website — Ini teknis, tapi temen temen perlu sedikit tau juga desain website yang baik dan cukup umum diakses oleh banyak orang.

Kalo desain websitenya kaya masih belajar, tulisannya ga seragam, warnanya belang-belang, halamannya ga ada yang aktif, kita langsung duga itu mungkin website phising.

  • Social proof — Misalnya ditampilkan testimoni dari customer, atau foto produk yang real.

Banyak lagi deh, dan eCommerce enabler ini sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan tadi di atas ya.

Jadi kita tinggal fokus cari traffic aja, urusan website, setengahnya sudah tertangani oleh ecommerce enabler.

eCommerce enabler banyak banget, cari aja di Google, nantinya temen temen bisa coba coba sendiri.

Dari yang gratisan, sampe yang premium macem Shopify gitu juga ada.

Payment Gateway

“Tapi wil, kalo transfernya ke rekening pribadi, juga mereka ga mau biasanya”

Temen temen, ada yang namanya Payment Gateway, atau bahasa Indonesianya itu gerbang pembayaran.

Kalo temen temen develop sendiri websitenya, itu bisa diintegrasikan dengan payment gateway, misal temen temen pake Woocommerce, atau Magento (nah teknis kan jadinya 😀), itu bisa diintegrasikan pake payment gateway.

Payment gateway adalah cara supaya website toko online temen temen terlihat lebih profesional, dengan memberikan opsi pembayaran yang beragam.

Bisa lewat Virtual Account, bisa ke Indomaret, dsb, jadinya customer lebih percaya, jadi mereka kaya berpikir : “oh iya ini wbsitenya keren banget, niat jualannya”

Payment Gateway banyak, ada Midtrans, ada Xendit, atau Tripay. itu keren banget, tinggal daftar, dan pasang di website.

Customer ga perlu kirim resi yang bisa dipalsuin sama mereka kan, minta transfer kelebihan 😀, kan gitu modusnya kan?

Kita juga ga perlu ribet ngecek transfer udah masuk apa belom, karena auto-verification, jadi langsung dapet email notifikasi kalo ada pembayaran masuk.

Udah hampir ga mungkin temen temen bilang “Sulit atau susah” untuk pelan pelan keluar dari marketplace.

Traffic & biaya iklan

Ya, mungkin salah satu alasan kenapa Marketplace adalah karena Traffic, ya bayangin aja, sehari ada 4 juta traffic, sebulan ada 120-an juta orang seliweran masuk ke website.

Ini yang mungkin jadi salah satu pertimbangan terberat untuk meninggalkan marketplace, yaitu karena Traffic.

Tapi ini, kalo kita bedah lagi, traffic ini mungkin banyak, tapi kalo temen temen ga bayar iklan, mungkin kunjungan juga sepi.

Maksudnya gini, yang dateng ke pasar emang banyak, tapi lapak temen temen itu belum tentu didatengin kan?

Cara supaya mereka ke lapak temen temen gimana? ya taro banner atau spanduk gede di pintu masuk, ya itu lah iklan.

Dan kayanya, ini kayanya ya, Marketplace udah jadi .. seperti melting pot, artinya udah semua jenis penjual tumplek-blek di situ, sampe kayanya udah ga ada lagi opsi buat kita cari sesuatu di Internet.

Pasti beli sesuatu ga jauh jauh dari marketplace, beli A,B,C yaudah di marketplace aja gitu, udah jadi habit.

Dari sana, akhirnya penjual baru, mungkin agak keteteran untuk bisa survive atau minimal keep-up dengan “keinginan” dari marketplace itu sendiri.

Dengan kondisi yang udah settle kaya gini, marketplace sudah pasti mengutamakan transaksi dari toko yang sudah proven menghasilkan transaksi.

Kalau temen temen baru masuk marketplace, ini asumsi aja ya, kayanya bakal susah kalo ga ngiklan.

Jadinya pragmatis, temen temen bisa berkontribusi apa untuk marketplace? entah iklan atau transaksi, maka itu yang bisa di-apresiasi oleh platform.

Paham ga sampe sini?

Gini deh, garis besarnya gini :

— “Marketplace sudah menjadi bagian dari keseharian, kita ga bisa atau bahkan ga punya opsi ke tempat lain, kalo kita percaya jualan di marketplace bakal langsung ada yang beli dengan iming iming traffic tinggi tanpa ada kontribusi apapun bagi marketplace, ya agak naif”

Marketplace ada di mode “Cari Profit”, sudah tidak lagi ada pada mode akuisisi pelanggan.

Mode-nya udah tinggal maintain retensi aja, supaya temen temen captivate dengan aplikasinya gitu.

Jadi kalo bicara traffic, ya mending kita bayar platform iklan yang udah jelas jelas trafficnya kita monitor sendiri kan?

Kita tau behaviour customer, bisa kita analisis bahkan bisa kita scale-up, jadi menurut saya, traffic ya, sama aja, mending kita invest buat naikin traffic ke database kita sendiri, kita catch pixelnya, Google Tag-nya, atau ada nomor WhatsApp atau emailnya, ya kan?

Homogen

Dan poin terakhir kenapa saya dorong, atau ajak temen temen untuk pelan pelan keluar dari Marketplace, yaitu market yang sudah setara.

Udah mature, udah mateng dengan transaksi online di internet, mereka sudah terbiasa dengan segala tahapan tahapan ecommerce :

  • Add to cart — atau malah langsung checkout
  • Checkout
  • Pilih payment — ada Gopay, Ovo, Virtual Account, dsb
  • Sama cek resi
  • Atau COD — ini lebih biasa lagi kan?

Itu udah jadi standar banget, hampir semua orang di Indonesia udah terbiasa melakukan serangkaian tahapan itu.

Dan angkanya tuh semakin naik ya penggunanya, ini ada datanya nih :

  • Tahun 2021 itu 124 juta pengguna internet melakukan transaksi ecommerce
  • Tahun 2022 naik lagi jadi 135 juta
  • Tahun 2023 naik lagi jadi 143 juta

Jadi rata rata di kisaran 10-an persen setiap tahun, bayangin aja 143 juta pengguna, itu udah setengah populasi Indonesia.

Jadi marketnya udah mature, atau bahkan udah homogen, udah rata semua orang dewasa di Indonesia udah terbiasa melakukan aktifitas jual-beli online.

Jadi, baik itu dengan atau tanpa marketplace, harusnya udah pelan pelan bisa distimulasi untuk transaksi langsung di website kita sendiri.

Stimulus

“tapi wil, gimana orang mau beli di website kita sendiri? kan susah ngajak orang buat percaya sama kita di internet?”

Bener, ada banyak caranya, salah satunya ada dengan pemberian insentif.

Insentif gimana? insentif ya promo, misal :

  • Diskon 10% untuk transaksi langsung di website dengan minimal pembelian tertentu.
  • Subsidi ongkir 10 ribu untuk pengiriman ke seluruh Indonesia.
  • Voucher kopi Indomaret buat minimal nilai transaksi tertentu.

Dengan segala macem potongan biaya admin; biaya aplikasi, biaya layanan, dsb di marketplace, ini sebetulnya peluang buat temen temen untuk bisa dorong pelanggan setianya untuk transaksi di website temen temen sendiri.

Menurut saya ini momentumnya, tinggal kitanya mau gerak atau enggak.

Kesimpulan

Ok, udah di ujung episode dan saya mau coba rangkum ya beberapa alasan kenapa temen temen perlu sedikit sedikit atau paling tidak punya planning untuk bergeser dari marketplace :

  1. Update fitur yang sepertinya mulai merugikan seller, yang menurut saya itu karena mereka harus bersaing melawan TikTok Tokopedia yang udah ga ada matinya ini merger sosmed-ecommerce.
  2. eCommerce enabler itu udah segambreng, banyak banget dan gampang banget, udah tinggal pake aja dari yang gratis sampe yang bayar, dari yang lokal sampe internasional macem Shopify.
  3. Market sudah semakin mature dan semakin homogen dengan jumlah pengguna yang bertransaksi selalu naik sekitar 10% setiap tahunnya.

— Cara buat mereka mau transaksi di kita gimana?

  1. Bisa pake stimulus yang udah saya jelasin tadi
  2. Build trust pake foto asli atau testimoni pelanggan
  3. Paralel sambil gaining social trust dari social media, direkam itu semua proses produksinya, dsb

Semangat para pebisnis di Indonesia !

Itu aja episode hari ini, semoga bermanfaat, dan jangan lupa bagikan episode ini sekiranya menurut teman teman menarik.

jangan lupa rate dan subscribe untuk teman teman pengguna spotify atau YouTube.

Terima kasih, sampai jumpa di episode selanjutnya.

--

--

Willy Pujo Hidayat

Certified Digital Marketing | Writing & Podcast | eCommerce Enthusiast | Rebahanism